Pages

Translate

Tukang Gigi Bernyali untuk Unjuk Gigi



Humas MK/ Ganie
Tukang gigi unjuk gigi. Sekitar 7.500 orang dari Asosiasi Tukang Gigi Mandiri (Astagiri) menyeruduk gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis pekan lalu. Mereka tak ingin melewatkan sidang perdana uji materi Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Target mereka hanya satu, menyaksikan hakim konstitusi membatalkan Pasal 73 ayat 2 dan Pasal 78 dalam undang-undang itu. Sebab, ketentuan di dalamnya dinilai melawan Pasal 27 dan Pasal 28d ayat 1 dan 2 UUD 1945. Hak asasi mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak terancam oleh keberadaan beleid tersebut.

"Kami berharap Mahkamah Konstitusi mencabut pasal tersebut. Bayangkan, ada 75 ribu tukang gigi yang bakal kehilangan hak asasi karena pasal itu. Mereka punya anak dan istri," papar M. Soleh Amin, kuasa hukum Astagiri, kepada SINDO Weekly, Senin pekan ini.

Pasal 73 ayat 2 berbunyi, "Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, atau cara lain yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau izin praktik." Undang-Undang itu pun memuat sanksi pidana penjara lima tahun atau denda Rp150 juta terhadap mereka yang nekat melanggar.

Menurut M. Soleh, pasal itulah yang kemudian dijadikan landasan bagi Menteri Kesehatan untuk mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.1871 Tahun 2011. Peraturan menteri itu melarang tukang gigi melakukan pekerjaan andalan mereka, yaitu membuat dan memasang gigi tiruan. "Ini seperti pasal karet yang kemudian ditafsirkan secara sesat oleh Kementerian Kesehatan dengan mengeluarkan peraturan tadi," tandas M. Soleh.

Tak berhenti di situ, Astagiri pun menduga peraturan menteri merupakan titipan dokter gigi. Omzet dokter gigi, menurut mereka, tergerogoti lantaran murahnya tarif tukang gigi. Memang kalau dibandingkan, biaya pembuatan dan pemasangan gigi palsu di tukang gigi relatif murah, berkisar antara Rp100 ribu hingga Rp250 ribu. Belum lagi praktik pemasangan behel alias kawat gigi yang belakangan ini kian marak. Di dokter gigi harganya bisa mencapai Rp7,5 juta. Nah, di tukang gigi, pasien hanya akan merogoh kocek maksimal Rp2 juta. "Persaingan inilah yang membuat banyak orang datang ke tukang gigi," tambah M. Soleh. Sayang, Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia, drg. Zaura Rini Anggraeni tak menanggapi permintaan wawancara SINDO Weekly.

Astagiri sendiri mengaku tak pernah dilibatkan dalam setiap pembahasan peraturan menteri yang menyangkut nasib tukang gigi. "Ada tiga peraturan Menteri Kesehatan yang menyangkut kami, tapi tak satu pun pernah melibatkan kami dalam setiap pembahasannya. Kami bertanya-tanya, ada apa ini?" papar M. Zubaidi, Sekretaris Umum Astagiri.

Zubaidi menilai munculnya Pasal 73 ayat 2 dan Pasal 78 dalam UU Praktik Kedokteran tak bertujuan melindungi kesehatan masyarakat. Sebab, selama ini keluhan masyarakat terkait profesi tukang gigi sangat sedikit. "Sedikit sekali yang komplain," katanya. Apalagi behel atau gigi palsu masuk dalam kategori pemasangan aksesori di tubuh manusia, seperti tato dan tindik kuping.

Puluhan ribu tukang gigi menggugat Undang-Undang Praktik Kedokteran di Mahkamah Konstitusi. Mereka menilai undang-undang itu menghilangkan hak asasi mereka untuk mendapatkan pekerjaan.


Pendahuluan Azas Organisasi Opini Visi dan Misi BERITA_Astagiri SEO

0 komentar:

Post a Comment